Pada kesempatan ini, kami akan membahas lebih lanjut tentang sejarah Pulau Penyu di Tanjung Benoa, Bali — sebuah perjalanan panjang dari pulau kecil berpenghuni hingga menjadi destinasi ekowisata yang berfokus pada pelestarian penyu laut.
Seperti yang diketahui, Tanjung Benoa merupakan sebuah semenanjung di ujung selatan Pulau Bali yang terkenal sebagai pusat aktivitas wisata bahari, khususnya olahraga air. Lokasinya yang berupa tanjung menghasilkan perairan yang tenang, sehingga sangat cocok untuk berbagai kegiatan tersebut. Di tengah keramaian kawasan ini, terdapat sebuah destinasi menarik bernama Pulau Penyu yang menjadi daya tarik bagi para wisatawan.

Perlu dipahami bahwa “Pulau Penyu” sebenarnya bukanlah sebuah pulau terpisah, melainkan area konservasi dan penangkaran penyu yang terletak di dekat pesisir Tanjung Benoa dan dapat diakses menggunakan perahu. Perkembangannya sebagai destinasi wisata sangat berkaitan dengan upaya pelestarian penyu laut yang terancam punah. Tempat ini menghadirkan konsep ekowisata yang unik, di mana pengunjung tidak hanya bisa berinteraksi langsung dengan penyu, tetapi juga memperoleh edukasi seputar pentingnya menjaga kelestarian satwa tersebut.
Asal-Usul Nama Pulau Penyu Tanjung Benoa
Nama “Pulau Penyu” berasal dari kata penyu dalam Bahasa Indonesia, yang berarti kura-kura laut. Penamaan ini secara langsung mencerminkan keterkaitan erat lokasi tersebut dengan keberadaan penyu. Secara historis, nama ini diperkirakan mulai dikenal seiring meningkatnya kesadaran akan penurunan populasi penyu hijau di Bali pada era 1990-an. Pada masa itu, penyu hijau banyak diburu untuk konsumsi maupun keperluan upacara adat, sehingga populasinya mengalami penurunan drastis. Pemberian nama “Pulau Penyu” diduga dimaksudkan untuk menegaskan fokus area ini sebagai tempat perlindungan penyu sekaligus menjadi sarana edukasi bagi masyarakat dan wisatawan.
Sebelum dikenal dengan nama Pulau Penyu, area ini bernama Pulau Pudut. Dahulu, pulau ini sempat dihuni oleh masyarakat hingga sekitar tahun 1970-an. Namun, akibat erosi parah yang mengancam menenggelamkan pulau tersebut, penduduknya terpaksa pindah ke wilayah daratan utama Tanjung Benoa pada tahun 1972. Pergantian nama dari Pulau Pudut menjadi Pulau Penyu sekaligus menandai perubahan fungsi utama kawasan ini, dari permukiman penduduk menjadi pusat konservasi penyu.
Aktivitas Manusia di Masa Lampau
Sebelum beralih menjadi pusat konservasi, Pulau Pudut merupakan kawasan permukiman bagi sebagian masyarakat Tanjung Benoa hingga tahun 1972, saat erosi yang parah memaksa penduduknya untuk pindah ke daratan utama. Selain menjadi tempat tinggal, wilayah ini juga memiliki hubungan erat dengan pemanfaatan penyu oleh masyarakat Bali. Pada era 1990-an, sebelum diberlakukan larangan ketat, daging penyu hijau cukup populer sebagai bahan olahan makanan, seperti sate dan lawar, serta memiliki peran penting dalam berbagai upacara keagamaan Hindu-Bali.
Dalam kepercayaan setempat, penyu dipercaya sebagai penjelmaan Dewa Wisnu dan kerap digunakan dalam ritual besar untuk menjaga keseimbangan alam. Bahkan, pada tahun 1998, WWF bekerja sama dengan tokoh-tokoh agama Hindu setempat untuk mendorong penggunaan simbol atau representasi penyu, seperti gambar atau kue, sebagai pengganti dalam sesajen. Langkah ini menjadi tanda meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya konservasi penyu. Meskipun tidak ada catatan resmi, kemungkinan aktivitas pengambilan telur penyu — yang lazim dilakukan di pesisir — juga pernah terjadi di area ini pada masa lampau.
Perjalanan Transformasi Sejarah Pulau Penyu
Pulau Penyu Tanjung Benoa telah mengalami perubahan besar sepanjang sejarahnya. Secara geografis, Pulau Pudut yang dahulu menjadi permukiman warga mengalami erosi parah pada tahun 1970-an, hingga nyaris tenggelam dan akhirnya ditinggalkan penduduk pada tahun 1972. Dari sisi ekologi, populasi penyu hijau di kawasan ini menurun drastis pada era 1990-an akibat eksploitasi berlebihan.
Menanggapi situasi tersebut, Pemerintah Daerah Bali bersama masyarakat setempat berinisiatif menjadikan kawasan kecil di ujung barat Tanjung Benoa ini sebagai tempat perlindungan penyu di atas lahan milik Perhutani. Area ini dikelola secara mandiri oleh warga untuk menangkarkan berbagai spesies penyu langka, khususnya penyu hijau, di lokasi yang secara alami tergenang saat air laut pasang — sesuai dengan habitat alami penyu laut.
Seiring berjalannya waktu, kawasan ini berkembang dari sekadar pusat konservasi menjadi destinasi ekowisata yang populer di Bali. Saat ini, Pulau Penyu tidak hanya menjadi tempat perlindungan penyu hijau, tetapi juga menampung jenis penyu lainnya seperti penyu lekang, penyu sisik, dan penyu pipih.

Peran Budaya dan Konservasi Pulau Penyu
Secara historis, penyu, khususnya penyu hijau, memiliki peranan penting dalam tradisi keagamaan masyarakat Bali. Satwa ini dipercaya sebagai manifestasi dari Dewa Wisnu dan kerap digunakan dalam berbagai upacara besar. Namun, seiring dengan menurunnya populasi penyu akibat perburuan, muncul kesadaran untuk mengubah tradisi demi menjaga kelestariannya.
Salah satu inisiatif penting terjadi pada tahun 1998, ketika WWF bekerja sama dengan para pemuka agama Hindu di Bali untuk mendorong penggunaan simbol atau replika penyu dalam ritual keagamaan sebagai pengganti penyu hidup. Langkah ini menjadi bentuk adaptasi tradisi yang sejalan dengan upaya konservasi.
Kini, Pulau Penyu lebih dikenal sebagai kawasan konservasi sekaligus pusat edukasi lingkungan. Pengelolaan kawasan ini dilakukan secara mandiri oleh masyarakat lokal, mencerminkan semangat kolektif untuk melindungi satwa yang memiliki nilai budaya dan ekologis tinggi. Selain itu, kegiatan wisata edukasi di kawasan ini turut berperan menyebarluaskan kesadaran pentingnya pelestarian lingkungan kepada wisatawan.
Jejak nilai budaya juga masih terasa, salah satunya melalui permainan tradisional “Penyu Mataluh” asal Pulau Serangan. Permainan ini menggambarkan hubungan manusia dengan penyu, sekaligus menanamkan kecintaan terhadap alam sejak usia dini.

Mitologi dan Cerita Rakyat yang Berkaitan
Informasi khusus mengenai cerita rakyat atau mitos yang secara langsung terkait dengan Pulau Penyu Tanjung Benoa memang masih terbatas dalam berbagai sumber yang ada. Namun, dalam mitologi Hindu Bali, dikenal sosok Bedawang Nala, seekor kura-kura raksasa yang dipercaya sebagai penyangga Pulau Bali. Keberadaan Bedawang Nala mencerminkan pandangan masyarakat Bali yang memaknai penyu sebagai simbol kekuatan alam dan keseimbangan dunia.
Selain itu, cerita-cerita rakyat tentang penyu juga dapat ditemukan di berbagai daerah lain di Indonesia. Misalnya, kisah tentang siluman penyu di Nusa Tenggara Timur dan legenda Penyu Emas di Gili Air, Lombok. Kehadiran penyu dalam narasi tradisional nusantara menunjukkan bahwa satwa ini memiliki tempat penting dalam budaya lisan masyarakat pesisir.
Meski belum terdokumentasi secara luas, sangat mungkin terdapat cerita lokal khusus di kawasan Tanjung Benoa yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi, namun belum tercatat secara resmi dalam literatur atau penelitian budaya.
Perkembangan Pariwisata Pulau Penyu Tanjung Benoa
Pulau Penyu Bali di kawasan Tanjung Benoa mulai dikenal luas sebagai destinasi wisata sekitar tahun 2013. Seiring waktu, popularitasnya meningkat pesat, khususnya sebelum pandemi COVID-19, dengan jumlah kunjungan mencapai ratusan wisatawan setiap hari, didominasi oleh wisatawan asal Tiongkok. Perkembangan ini didorong oleh tingginya minat wisatawan terhadap aktivitas konservasi dan pengalaman langsung berinteraksi dengan penyu laut.
Inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah daerah bersama pengelola masyarakat bertujuan memadukan upaya pelestarian lingkungan dengan konsep pariwisata berkelanjutan. Akses menuju Pulau Penyu pun dibuat mudah, yakni menggunakan glass bottom boat atau perahu dasar kaca dari Pantai Tanjung Benoa, yang sekaligus menawarkan pemandangan bawah laut selama perjalanan.

Daya tarik utama kawasan ini adalah kesempatan untuk melihat dan berinteraksi langsung dengan penyu dari berbagai usia, mulai dari tukik hingga penyu dewasa. Selain itu, di lokasi konservasi ini juga terdapat berbagai satwa lainnya yang turut dirawat. Sebagian besar aktivitas wisata di sini sekaligus menjadi bentuk donasi untuk mendukung keberlanjutan program konservasi yang dijalankan oleh masyarakat setempat.
Baca: Harga Tiket ke Pulau Penyu Bali
Upaya Konservasi Penyu dan Tantangan yang Dihadapi
Sejarah Pulau Penyu Tanjung Benoa Bali tidak bisa dipisahkan dari gerakan konservasi satwa laut. Pendirian kawasan ini merupakan respons langsung terhadap ancaman kepunahan penyu hijau yang terjadi pada tahun 1990-an. Inisiatif ini lahir dari kerja sama pemerintah daerah dan masyarakat lokal, dengan tujuan melindungi telur, menetaskan tukik, merawat, serta melepasliarkan sebagian penyu kembali ke laut. Kegiatan tersebut kerap melibatkan wisatawan yang ingin ikut berpartisipasi dalam program pelepasan tukik.
Upaya konservasi di Pulau Penyu merupakan bagian dari gerakan pelestarian yang lebih luas di Bali dan Indonesia, yang juga didukung oleh organisasi konservasi seperti WWF dan ProFauna. Kegiatan ini berjalan seiring dengan landasan hukum nasional, seperti Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Penegakan hukum terhadap praktik perdagangan ilegal penyu pun pernah dilakukan di kawasan ini. Salah satu kasus terjadi pada tahun 2000, ketika aparat berhasil menangkap kapal penyelundup penyu di sekitar Tanjung Benoa.
Meski demikian, tantangan dalam pengelolaan konservasi tetap ada. Salah satunya adalah sorotan publik pada tahun 2019 terkait kondisi penangkaran dan interaksi wisatawan yang dinilai kurang sesuai dengan prinsip kesejahteraan satwa. Situasi ini menegaskan pentingnya pengawasan berkelanjutan dan pembenahan tata kelola agar konservasi tetap berjalan sesuai tujuan, sekaligus memberi edukasi yang tepat kepada masyarakat dan wisatawan.
Tabel Rangkuman Tonggak Konservasi Penyu di Bali (terkait Tanjung Benoa)
Tahun | Peristiwa/Inisiatif | Signifikansi |
---|---|---|
1990an | Penurunan drastis populasi penyu hijau di Bali akibat konsumsi & ritual. | Memicu inisiatif konservasi. |
1997 | WWF Indonesia meluncurkan program konservasi penyu di Bali. | Menandai keterlibatan organisasi konservasi besar. |
1998 | WWF bekerja sama dengan Pedanda untuk mengganti penyu dalam ritual. | Upaya menyeimbangkan tradisi dan konservasi. |
1999 | ProFauna ungkap Bali sebagai pusat perdagangan daging penyu. | Meningkatkan kesadaran publik & mendorong tindakan hukum. |
2000 | Penegakan hukum pertama terhadap perdagangan penyu di Tanjung Benoa. | Menunjukkan komitmen perlindungan hukum. |
Awal 2000an | Pemerintah & masyarakat kembangkan Pulau Penyu sbg pusat penangkaran. | Transformasi Pulau Pudut jadi pusat konservasi & wisata. |
Saat ini | Pulau Penyu jadi destinasi wisata edukatif fokus konservasi. | Mengintegrasikan konservasi dgn pariwisata, edukasi masyarakat & wisatawan. |
2019 | Sorotan thd kondisi penangkaran & interaksi wisatawan dgn penyu. | Menunjukkan tantangan dlm menyeimbangkan pariwisata & kesejahteraan hewan. |

Kesimpulan
Sejarah Pulau Penyu Tanjung Benoa di Bali mencerminkan perjalanan panjang sebuah pulau berpenghuni yang kemudian bertransformasi menjadi pusat konservasi penyu sekaligus destinasi ekowisata yang penting. Nama Pulau Penyu sendiri menegaskan fokus utama kawasan ini dalam upaya melindungi penyu laut yang terancam punah.
Aktivitas masyarakat di masa lampau menunjukkan adanya hubungan budaya yang erat antara masyarakat Bali dengan penyu. Perubahan besar terjadi akibat tantangan lingkungan serta tumbuhnya kesadaran akan pentingnya pelestarian. Saat ini, Pulau Penyu memiliki peran strategis dalam kegiatan edukasi konservasi, didukung oleh peraturan hukum serta inisiatif lokal. Keberadaannya kini menjadi simbol harapan bagi pelestarian satwa liar sekaligus wujud pariwisata berkelanjutan di Bali.
Bagi yang ingin berkunjung ke tempat penangkaran penyu yang ada di Tanjung Benoa, silakan hubungi kami melalui WhatsApp
Tinggalkan komentar