Caow Eng Bio: Kelenteng Tertua di Bali

Jika Anda berkunjung ke Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali, Anda akan menemukan sebuah kelenteng yang berdiri megah di pinggir jalan, dekat pantai Tanjung Benoa. Kelenteng ini bernama Caow Eng Bio, yang merupakan salah satu kelenteng tertua yang ada di Bali. Kelenteng ini memiliki sejarah yang panjang dan menarik, serta menjadi tempat ibadah bagi umat Konghucu dan masyarakat Hainan yang tinggal di Bali.

Kelenteng Caow Eng Bio

Sejarah Singkat Kelenteng Caow Eng Bio

Kelenteng Caow Eng Bio didirikan pada tahun 1548 oleh para pelaut dari Pulau Hainan, China, yang berlindung di Teluk Tanjung Benoa dari angin topan. Saat itu, belum ada penduduk lokal Bali yang tinggal di daerah tersebut. Para pelaut Hainan membangun tempat sembahyang kecil untuk menghormati Dewi Laut Shui Wei Shen Niang, yang diyakini sebagai pelindung mereka. Dewi Laut Shui Wei Shen Niang adalah salah satu dari 108 Bersaudara dari Hainan, yang merupakan tokoh legendaris dalam sejarah dan budaya Hainan.

Dewi Laut Shui Wei Shen Niang

Nama Caow Eng Bio berasal dari aksara Tionghoa 應昭戎丹 (dān róng zhāo yìng), yang berarti “merah, senjata, terang, menjawab”. Nama ini mungkin menggambarkan warna merah dari bubuk cinnabar yang digunakan sebagai bahan ritual, senjata yang menjadi lambang kekuatan militer, terang yang melambangkan kejelasan dan manifestasi, dan menjawab yang menunjukkan kesetiaan dan tanggapan terhadap Dewi Laut. Nama ini juga ditulis dengan huruf Latin sebagai Caow Eng Bio, yang merupakan ejaan fonetik dari aksara Tionghoa 昭應廟 (zhāo yīng miào), yang berarti “kelenteng yang menjawab terang”.

Pada tahun 1800-an, kelenteng ini mulai dibangun secara permanen dengan gaya arsitektur Tionghoa. Lahan kelenteng ini diberikan oleh Raja Badung Ida Cokorda Pemecutan ke-10 sebagai bentuk penghargaan kepada masyarakat Hainan. Pada tahun 1879, dibuat prasasti di depan kelenteng yang mencantumkan nama-nama marga dari para dermawan yang ikut mendirikan kelenteng ini. Banyak wisatawan dari Taiwan atau China yang merasa bangga ketika melihat nama marga leluhur mereka di prasasti tersebut.

Jam Buka

Kelenteng Caow Eng Bio memiliki beberapa altar yang dipersembahkan kepada Dewi Laut Shui Wei Shen Niang dan dewa-dewa lainnya. Di seberang kelenteng, terdapat sebuah bangunan teater dan di sampingnya terdapat kuil kecil untuk perahu naga. Perahu naga adalah salah satu simbol budaya Hainan yang digunakan dalam festival dan perlombaan air. Kelenteng ini juga menyimpan beberapa benda pusaka, seperti patung-patung kayu, lukisan-lukisan kuno, dan peralatan-peralatan ritual.

Kelenteng Caow Eng Bio buka setiap hari pada pukul 06.00-21.00 WITA, kecuali setiap tanggal 1 dan 15 Imlek hingga pukul 24.00 WITA. Kelenteng ini sering dikunjungi oleh umat Konghucu dan masyarakat Hainan untuk berdoa dan meminta berkah. Kelenteng ini juga menjadi tujuan wisata bagi para pengunjung yang ingin melihat keindahan dan keunikan arsitektur Tionghoa, serta mengetahui sejarah dan budaya Hainan di Bali.

Baca: 5 Objek Wisata Tanjung Benoa

Sempatkan Diri Main Watersport

Kelenteng Caow Eng Bio lokasinya sangat dekat dengan beberapa operator watersport, salah satunya adalah Bali Dolphin. Jaraknya hanya selemparan batu.. :D. Jika Anda pecinta wisata bahari, ayook tidak ada salahnya mencoba beberapa permainan air seperti banana boat, jetski, parasailing adventure, rolling donut, flyboard, dan flying fish.

Suka menyelam? yuk dicoba snorkeling, scuba diving, dan seawalker. Ada juga berkunjung ke tempat penangkaran penyu Tanjung Benoa, namun untuk kesana harus sewa glass bottom boat.

Untuk melakukan pemesanan watersport, silakan hubungi kami melalui telp atau whatsapp untuk mendapatkan harga Tanjung Benoa yang terbaik, termurah biar pas dikantong.. hehe

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 890

No votes so far! Be the first to rate this post.

As you found this post useful...

Follow us on social media!

Bagikan:

Hello sobat TanjungbenoaBali.com,, perkenalkan. Nama saya Mangyus PutraMa. Hobby menulis dan travelling. Lahir dan tinggal di Bali, di sebuah desa kecil dengan adat istiadat yang masih sangat kental.. Saat ini saya bekerja di PutraMa Bali Holiday, travel agen yang menjual tiket wisata di Bali seperti watersport Tanjung Benoa, Bali Safari, Bali Zoo, Ayung Rafting, Telaga Waja rafting, Dolphin tour Lovina, dan Trans Studio Bali.

Related Post

2 comments

  1. Avatar Universitas Telkom
    Universitas Telkom

    How does the architecture of Caow Eng Bio Temple reflect a blend of Chinese and Balinese influences?​

    1. Avatar Tanjung Benoa Bali
      Tanjung Benoa Bali

      The Caow Eng Bio Temple in Tanjung Benoa, Bali, stands as a vibrant testament to the acculturation of Chinese and Balinese influences. Its architecture, while predominantly Chinese, subtly incorporates and exists harmoniously within the Balinese cultural landscape. This blend is evident in its design, spiritual practices, and its historical context within the local community.

      Dominant Chinese Architectural Features:

      The temple, also known as Klenteng Caow Eng Bio, is one of the oldest Chinese temples in Bali, with a history reportedly dating back to around 1548 during the era of the Badung Kingdom. Its Chinese architectural identity is striking:

      Bright and Ornate Exterior: The temple boasts the characteristic bright red walls, a color symbolizing good fortune and prosperity in Chinese culture. These ornate walls are a hallmark of traditional Chinese temple architecture.
      Decorative Elements: Intricate statues of Chinese deities, mythical figures, and symbolic Chinese lamps adorn the temple. The entrance often features a wooden structure painted with fearsome war deities, a common protective element in Chinese temples.
      Roofing Styles: Traditional Chinese roof tiling and distinctive curvatures are key features, distinguishing it from Balinese Pura architecture.
      Interior Layout and Items: Inside, prayer rooms typically house large ash cauldrons on pedestals, gigantic red candles, and wooden plaques inscribed with scripture verses in both Chinese and Indonesian, indicating an adaptation to the local context.
      Deities Worshipped: The temple is primarily dedicated to Chinese sea deities, such as Goddess Shui Wei Sheng Nian and Xiongdi Gong, reflecting the seafaring origins of the Hainanese community who founded it. Shrines to other popular Chinese deities like Mazu, Guan Gong, Nezha, and the Monkey God can also be found.
      Historical Artifacts: The temple preserves historical artifacts like a stele from 1882 (Qing Dynasty), along with inscription boards and ritual items from various Chinese historical periods, underscoring its deep Chinese roots.
      Balinese Influences and Cultural Integration:

      The Balinese influence on Caow Eng Bio Temple is manifested more through cultural assimilation and harmonious coexistence rather than a direct fusion of major architectural structures:

      Community and Location: The temple was established on land granted by the King of Pemecutan Badung, indicating early acceptance and integration within the Balinese royal structures. It is often situated within or near traditional Balinese village areas (Banjar).
      Spiritual Syncretism (Implied and General): Historically, the founding legend of Caow Eng Bio mentions a vow to build a temple for the Chinese Goddess Shui Wei or a “Stana” (shrine) for Lord Baruna, the Balinese Hindu god of the sea. This suggests an early acknowledgement or alignment of Chinese deities with local Balinese spiritual figures. Furthermore, it is a common practice in many Chinese temples across Bali to feature an outdoor altar dedicated to Balinese Hindu Gods, showcasing respect and integration of local beliefs.
      Offerings: The use of Balinese “canang sari” (daily offerings made from palm leaf, flowers, and incense) by devotees at Chinese temples, including potentially at Caow Eng Bio, is a clear sign of cultural fusion. This practice blends Chinese worship traditions with local Balinese Hindu customs.
      Welcoming Local Community: The temple serves not only the Chinese descendants but also welcomes local Balinese residents, fostering a shared spiritual space.
      Adaptive Elements: The presence of scriptures in Indonesian alongside Chinese points to an engagement with the broader Indonesian, and specifically Balinese, community. While traditional Chinese temples often adhere to a strict North-South orientation, Chinese temples in Bali sometimes adapt their orientation based on local geography, such as waterways or main roads, a pragmatic response to the Balinese environment.
      In essence, Caow Eng Bio Temple’s architecture is a vibrant dialogue between two rich cultures. While its structural form and primary decorative elements are distinctly Chinese, its existence, the practices within it, and its relationship with the local community reflect a deep and respectful integration with Balinese traditions. This makes it not just a place of worship, but also a significant cultural landmark illustrating centuries of harmonious Chinese-Balinese interaction.

Tinggalkan komentar


Guest Testimonials